Menyiapkan dan Memotivasi Pengurus Lingkungan
Oleh:
F.X. Didik Bagiyowinadi, Pr
Salah
satu kekhasan Gereja Katolik Indonesia adalah adanya sistem lingkungan/
kring/stasi dalam pelayanan pastoral parokial-teritorial yang
memungkinkan semakin banyak kaum beriman awam terlibat dalam
pengembangan Gereja seperti yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II
(lih. AA 10, AA 24, AG 21). Dan yang menarik, cikal-bakal lingkungan ini
ternyata sudah ada jauh sebelum Konsili Vatikan II, bahkan sebelum
Perang Dunia II. Pada masa itu para imam Jawa, yakni Rm. Hardjosuwondo
SJ dan Rm. Sugiyopranoto,SJ, merintis sistem kring di paroki-paroki
Wedi-Klaten, Ganjuran, dan Bintaran (lih. JWM Huub Boelaars, OFM Cap
dalam Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kanisius,
2005, hlm. 353). Bahkan para pamong kring ini berperan sebagai gembala
bagi umat kringnya, dimana mereka dipercaya untuk memimpin
ibadat-ibadat, mengajar calon baptis, juga membimbing umat yang
mengalami kesulitan.
Dalam perkembangan waktu, sistem “bapak pamong kring” ini kemudian
berkembang menjadi sistem lingkungan yang kemudian juga dimasukkan dalam
struktur dewan pastoral paroki. Dalam semangat kepemimpinan
partisipatoris, “salib pelayanan” umat di lingkungan tidak lagi
“dibebankan” pada pundak ketua lingkungan saja, tetapi menjadi tanggung
jawab para pengurus lingkungan. Keterlibatan para pengurus lingkungan
sungguh membantu dan melipatgandakan tenaga dan perhatian pastoral
Pastor Paroki. Dan menarik untuk dicermati, “sekolah pelayanan dan
kerjasama” para pengurus lingkungan ini sekaligus merupakan salah satu
wahana dan peluang untuk mempersiapkan kader-kader pengurus Dewan
pastoral paroki.
Menjaring Kader Pengurus Lingkungan
Namun, yang menjadi kendala di lapangan, ternyata tidaklah mudah
mencari kader pengurus lingkungan. Ada kecenderungan di antara umat
untuk “mengabadikan” para pengurus lingkungan. Kesulitan mencari
pengurus lingkungan semakin nyata tatkala lingkungan hendak dimekarkan.
Menurut saya, kesulitannya bukan lantaran tidak adanya orang yang mau
dan mampu, melainkan karena belum adanya sistem yang mempersiapkan para
kader pengurus lingkungan. Selama ini pembekalan dan penyegaran (ketua)
pengurus lingkungan ditujukan kepada mereka yang baru atau sudah
ditunjuk menjadi pengurus. Maka bila bermaksud menjaring “wajah baru”
dalam kepengurusan lingkungan, terlebih demi regenerasi pelayanan umat
di lingkungan, kesulitan yang sama terulang: mereka yang akan dipilih
dan ditunjuk merasa belum siap lantaran pelbagai dalih dan alasan. Di
lain pihak wacana dan literature pelayanan untuk para pengurus
lingkungan juga belum tersedia. Selama ini yang ada baru buku panduan
untuk misdinar, lektor, prodiakon, dewan paroki, dsb.
Menanggapi keprihatinan pastoral ini, pada liburan musim panas 2008
lalu saya menyempatkan dan memberanikan diri menulis buku “Siap Menjadi Pengurus Lingkungan”
yang saya akui sebenarnya hanyalah “tiada rotan akar pun jadi”. Saya
berharap, setidaknya wacana dalam buku ini bisa menjadi titik tolak
untuk mempersiapkan dan memotivasi (kader) pengurus lingkungan secara
lebih serius. Maka dalam tulisan singkat ini, perkenankan saya
menyampaikan beberapa hal yang saya bahas dalam buku kecil itu.
Menghidupi Pancatugas Gereja dalam dan bersama Lingkungan
Setelah membahas keterlibatan kaum beriman awam dalam Gereja
(bab 1) dan reksa pastoral Gereja melalui Lingkungan (bab 2), saya
mengajak pembaca untuk menghidupi panca tugas Gereja bersama dan dalam
lingkungan (bab 3). Mengapa kita perlu mewujudkan panca tugas ini? Sebab
Tuhan Yesus sendiri telah memberi perintah kepada kita, para
pengikut-Nya, untuk saling mengasihi (Yoh 13:34) dan saling melayani
(lih. Yoh 13:14-15). Amanat Kristus ini secara konkret dan terus-menerus
perlu kita wujud-nyatakan bersama orang-orang terdekat, yakni keluarga
kita dan umat lingkungan terdekat. Dengan jumlah umat paroki yang
sedemikian besar, bahkan tidak jarang kita selisih jalan saat merayakan
Misa hari Minggu, mewujudkan semangat kasih dan pelayanan dalam lingkup
keluarga dan lingkungan terdekat adalah pilihan yang paling realistis.
Memang ada sebagian umat yang merasa masih ”belum butuh lingkungan”,
termasuk mereka yang sudah menjadi aktivis di aneka kelompok
kategorial. Namun, menurut saya bergabung dalam persekutuan umat di
lingkungan-teritorial ini patut diupayakan karena lingkungan merupakan
salah satu wahana mewujudkan amanat Kristus tadi. Selain itu,
persekutuan umat di lingkungan lebih menampilkan ”wajah Katolik”, dimana
umat dari pelbagai latar belakang etnis, budaya, sosial-ekonomi, juga
selera dan tingkat rohani, berhimpun dan bersekutu berdasarkan iman akan
Kristus (dan tentu saja juga berdasarkan pembagian
administrarif-teritorial paroki). Memang pelayanan rohani
”umum-teritorial” di lingkungan ini masih perlu dilengkapi dengan
pelayanan aneka kelompok kategorial yang lebih menjawabi kebutuhan dan
selera rohani masing-masing pribadi yang berbeda. Demikian pula, dalih
betapa sibuknya anggota keluarga sampai tidak ada waktu untuk kegiatan
lingkungan, bisa disiasati dengan keterlibatan ”wakil keluarga”
sedemikian sehingga komunikasi antara keluarga dan umat lingkungan tidak
terputus.
Untuk memahami lebih baik bagaimana mewujudkan panca-tugas gereja
dalam dan bersama lingkungan, pembaca diajak merenungkan cara hidup
Gereja Perdana dalam Kis 2:41-47. Dari sini selanjutnya pembaca diajak
menggagas lebih lanjut bagaimana secara konkret panca tugas tersebut
dapat diwujudkan dalam dan bersama lingkungannya.
Belajar dari ide Gereja Diaspora Romo Mangun
Untuk mendiskusikan penggembalaan dan pengembangan Gereja Katolik Indonesia, kita juga mesti belajar dari wacana Gereja Diaspora yang
dilontarkan oleh Romo Mangun. Maka pada bab 4, saya menyajikan
poin-poin gagasan Romo Mangunwijaya yang relevan untuk pengembangan
Gereja di lingkungan. Seperti diingatkan oleh Romo Mangun, kita perlu
menyadari bahwa saat ini umat Katolik Indonesia dihadapkan pada situasi
diaspora, maka pelayanan teritorial-tradisional perlulah dilengkapi
dengan pelayanan khusus bagi umat yang terdiaspora. Karena itu, para
pengurus lingkungan hendaknya juga memahami dan memaklumi, seandainya
ada umat yang tidak bisa aktif dalam aneka kegiatan lingkungan lantaran
“kediasporaan”-nya. Di lain pihak, para pengurus lingkungan sebagai
pribadi kiranya juga perlu mempersiapkan diri menjadi “gembala diaspora”
bagi sahabat-kenalan dari lain lingkungan dan paroki. Namun, Romo
Mangun berkeyakinan bahwa pelayanan teritorial-tradisional (termasuk
lingkungan) ini tetaplah perlu karena hal ini justru menggambarkan
kesatuan umat yang beragam dan juga memang ada beberapa sektor yang
tetap membutuhkan pelayanan teritorial, seperti anak-anak dan remaja,
dunia sekolah, mereka yang sakit, cacat, dan jompo.
Dalam buku Gereja Diaspora Romo Mangun ‘menggugat’
komitmen dan perhatian Gereja pada kaum miskin dan papa-menderita.
Beliau berharap “Mudah-mudahan kejuaraan kita dalam 1001 acara doa,
novena, lomba kor gereja, kolasi, rekoleksi, retret, membangun
gedung-gedung gereja raksasa maupun kapel molek, dan yang terpenting,
membanjiri tempat ziarah sambil berpiknik dan berekspresi kesalehan lain
yang indah itu seimbang dengan karya-karya nyata yang meringankan
pahit-pedih manusia lain yang menderita dalam segala bentuk. Sesuai
dengan apa yang dicontohkan oleh Yesus dan Gereja di zaman para rasul” (Gereja Diaspora,
Kanisius, hlm. 175). Maka pertanyaannya, bagaimana secara konkret hal
ini bisa diwujudnyatakan dalam hidup menggereja di lingkungan. Demikian
pula penekanan beliau akan pentingnya keluarga sebagai “benteng Gereja
Diaspora”, hendaknya menjadi catatan dalam pengaturan aneka kegiatan
lingkungan. Dan tidak kalah menariknya adalah menyimak “anjuran Romo
Mangun” tentang kriteria pengurus lingkungan dan dewan paroki yang
sebaiknya kita pilih dan tunjuk.
Menjadikan Lingkungan Sebagai KBG
Dalam SAGKI 2000, Gereja Katolik Indonesia mencanangkan
Komunitas Basis Gerejani (KBG) sebagai cara baru hidup menggereja agar
kehadiran Gereja sungguh memberi arti dan sumbangan bagi masyarakat
sekitar (termasuk di kala masyarakat kita menderita akibat aneka bencana
alam, “bencana lapindo”, kenaikan BBM, dsb). Memang masih ada
perdebatan, apakah lingkungan itu sudah merupakan komunitas basis
gerejawi? Daripada mempersoalkan “istilah”, akan lebih baik bila kita
mengupayakan agar lingkungan/kring/stasi kita menjadi suatu komunitas
basis gerejani. Maka sebagai suatu komunitas basis gerejani, kiranya
pembicaraan bersama dengan diterangi Kitab Suci perlu dikembangkan agar
umat lingkungan senantiasa menemukan bentuk-bentuk diakonia dan martiria
yang relevan untuk situasi-kondisi setempat.
Motivasi dan Spiritualitas Pengurus Lingkungan
Pada bab-bab selanjutnya, saya memfokuskan perhatian pada
pengurus lingkungan secara konkret, mulai dari peran dan kinerjanya,
motivasi dan spiritualitas yang perlu dihidupi, sampai aneka “panduan
praktis” mewujudkan pelayanan murah hati (termasuk pada umat yang jarang
muncul di lingkungan).
Apa yang menjadi motivasi seseorang mau dipilih dan ditunjuk menjadi
pengurus lingkungan? Saya memaparkan empat motivasi menerima tanggung
jawab pelayanan di lingkungan ini (tentu dengan menimba inspirasi dari
Kitab Suci dan Ajaran Gereja):
- Merealisasikan tugas perutusan yang telah diemban sejak menerima Sakramen Krisma, khususnya tugas sebagai gembala.
- Sebagai perwujudan cinta kepada Tuhan Yesus dan Gereja,
- Mempersembahkan talenta untuk “pembangunan jemaat”
- Ajakan untuk terus memurnikan motivasi pelayanan
Sementara berkaitan dengan Spiritualitas yang patut dihidupi oleh para pengurus lingkungan, saya paparkan tiga hal:
- Mengemban pelayanan murah hati seperti diilustrasikan dalam cover buku (saling membasuh kaki).
- Semangat misioner, yakni siap sedia
diutus, tidak harus pergi ke luar negeri, tetapi berani keluar dari
kepentingan diri dan mulai terarah pada orang lain. Maka bagaimana
secara konkret semangat 2D2K: Doa-Derma-Korban-Kesaksian, dapat
diwujudnyatakan oleh para pengurus lingkungan.
- Makna bekerjasama sebagai satu tim, seperti halnya Kristus mengutus para murid-Nya pergi berdua-dua.
Menanggapi Dalih Tidak Mau Melayani
Ada banyak dalih dan alasan bisa disebut yang membuat para
kader pengurus lingkungan merasa diri belum siap, seperti tidak layak
dan tidak pantas, tidak mampu, tidak ada waktu, dst. Saya mencoba
menanggapi aneka dalih tersebut untuk memotivasi para pengurus
lingkungan. Asalkan ada kemauan, kemampuan dan ketrampilan bisa
diupayakan dan ditingkatkan. Asalkan ada kemauan, akan berusaha
menyempatkan waktu. Namun, untuk para “aktivis Gereja” yang sudah sibuk
dengan aneka pelayanan dan tanggung jawab, sebaiknya membatasi diri
menerima “jabatan” pelayanan ini agar tidak mengecewakan umat ataupun
menelantarkan keluarga. Untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan
para pengurus lingkungan, saya berikan daftar buku yang bermanfaat untuk
pelayanan umat di lingkungan.
Selanjutnya, saya uraikan pula soal doa lingkungan dan
bagaimana secara praktis memandu doa lingkungan dan menyusun renungan
untuk ibadat syukur/permohonan di lingkungan. Dan tentunya saya bahas
pula “Seputar Ketua Lingkungan” dan “Pengurus Lingkungan dan
Keluarganya”.
Persoalan Klasik di Lingkungan
Berangkat dari pengamatan dan pengalaman mendampingi para pengurus
lingkungan di paroki, saya mendapati setidaknya ada selusin persoalan
klasik di lingkungan. Maka dalam buku ini saya juga mengangkat dan
mendiskusikan aneka persoalan klasik itu agar bisa menjadi pembelajaran
bersama bagi (kader) pengurus lingkungan, yakni:
- "Jemput bola" gembala proaktif kepada:
warga pindahan baru, katekumen, calon penerima sakramen, yang terbaring
sakit, yang kurang aktif, dan yang miskin dan berkekurangan.
- Pelayanan bagi yang berduka: penerimaan
Sakramen Perminyakan, pelayanan bagi warga yang meninggal, dukungan bagi
keluarga yang berkabung, dan pelayanan doa-misa arwah.
- Pemberdayaan potensi umat
- Transparansi keuangan lingkungan
- Managemen Konflik dan Perbedaan
- Guyon Berlebihan
- Managemen Gossip
- Alokasi Waktu dan Jam Karet
- Koq Sedikit yang ikut Pendalaman Iman?
- Melibatkan Generasi Muda
- Lingkungan Vs Ekumene
- Penyakit: Post Power Sindrom.
Tiada Rotan Akar Pun Jadi
Sebagaimana saya singgung di awal tulisan ini, buku Siap Menjadi
Pengurus Lingkungan sungguh saya sadari dan akui sekedar ”tiada rotan
akar pun jadi” mengingat keterbatasan pengalaman pastoral parokial saya
dan saya tidak studi khusus bidang ini. Namun, saya menyadari akan
”bagian saya” (bdk. 1 Kor 12:18)) untuk merumuskan aneka pengalaman
pendampingan para rekan pastor paroki (tentu sejauh yang saya amati dan
alami) kepada para pengurus lingkungan dengan harapan buku kecil ini
bisa menjadi titik tolak pembicaraan bersama untuk mempersiapkan dan
memotivasi para pengurus lingkungan. Dan tentunya saya tidak berpretensi
untuk menyelesaikan semua persoalan pelayanan di lingkungan, tetapi
berharap bahwa lontaran ide dan wacana ini dibicarakan lebih lanjut oleh
para pengurus lingkungan dan pastor paroki agar semakin relevan dan
aplikatif di lapangan. Akhirnya, selamat mempersiapkan kader pengurus
lingkungan demi pengembangan Gereja Katolik Indonesia di masa mendatang.
Convitto San Tommaso - Roma, 27 Juni 2008
Sumber: http://www.imankatolik.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar